Jumat, 21 Juli 2017

SEKOLAH GUDANG UYAH

SEKOLAH GUDANG UYAH
Pada Tahun 1950-an di jalan Penarukan-Kepanjen terdapat sebuah sekolah Rakyat (SR) yang kini disebut Sekolah Dasar. Pada tempo doeloe masyarakat awam menyebutnya Sekolah Gudang Uyah (Garam). Disebut gudang Uyah, karena sekolah tersebut menempati bekas Gudang Garam jaman Kolonial Belanda yang sudah tidak terpakai. Pada tahun 1970-an masyarakat menyebut SD itu dengan sebutan “SD Kawedanan”, disebut demikian karena lokasinya berada di dekat Kantor Kawedanan Kepanjen (letaknya persis berada di depan Kantor Kawedanan). Meskipun pada tahun 1980-an Kawedanan telah dihapus dan menjadi Pembantu Bupati, namun rakyat lebih familier tetap menyebut Kawedanan. Dan pada tahun 1990-an SD itupun dibangun berlantai  dua (bertingkat) berubah nama menjadi SDN 02 Kepanjen, namun demikian bagi orang-orang dewasa lebih akrab menyebutnya SD Kawedanan, meskipun kini Kantor Kawedanan itu telah berubah menjadi  Kantor Dinas Pendidikan dan Pariwisata Kabupaten Malang.
Berangan-angan menerawang jauh ke masa penjajahan Belanda, meskipun kaum penjajah yang terkenal dengan penindasannya, ternyata Belanda masih perhatian terhadap kebutuhan dasar rakyat yang menjadi jajahannya, apa itu ? yaitu “Garam“(uyah), bukti terhadap adanya perhatian Pemerintah Hindia Belanda dalam memenuhi  kebutuhan garam adalah adanya Gudang Garam “Gudang Uyahyang selalu ada di setiap kota. Ketersediaan garam di tengah-tengah masyarakat selalu terkontrol dari ketersediaan stok garam yang ada di gudang, sehingga tidak pernah terjadi kelangkaan garam.
Kini pada 17 Agustus 2017 Kemerdekaan Bangsa Indonesia telah berusia 72 tahun, umpama orang itu sudah kakek/nenek yang sudah kenyang makan ASAM GARAM nya kehidupan, tetapi apa yang kini kita dapati, ternyata penguasa negeri kali ini sedang lengahkah atau kecolongankah dalam mengelola manajemen pergaraman, terbukti bahwa kini di pasar-pasar mulai terjadi kelangkaan GARAM yang sebelumnya hal ini tak pernah terjadi. Harga jual garam dipasaran naik sampai  500 %. Pemerintah boleh-boleh saja berkilah bahwa hal ini terjadi karena adaya musim kemarau basah yang berkepanjangan, namun bukahkah dengan kemajuan tehnologi kondisi kemarau basah itu jauh hari sudah terdeteksi, dan peluang  impor Garam pun terbuka lebar, sehingga dengan demikian mestinya sudah dapat diprediksi berkurangnya produksi garam untuk kebutuhan tahun ini, sehingga jauh sebelumnya kebutuhan garam dan stok yang harus disediakan dapat diantisipasi tidak sampai terjadi adanya kelangkaan seperti sekarang ini.
Bagi rakyat kecil yang tidak paham tentang urusan pemerintahan atau otak atik politik, Kelangkaan Garam menjadi bahan ocehan tentang penilaian kinerja pemerintah dan dengan lugunya menjadi bahan pergunjingan bernada minir. Bagaimana tidak, logika sederhananya adalah begini, bahan dasar pembuatan garam adalah air laut, sedangkan Indonesia itu Negara kelautan dan tentu berlimpah-ruah akan bahan dasar pembuatan garam, dan timbullah pertanyaan, kenapa kok bisa begini ya ? dan merekapun dengan lugunya menjawab pertanyaannya itu dengan suatu pertanyaan pula, apakah hal ini berarti perintah tidak perhatian ora gatekan, mengurus hal kecil seperti ini?
Hal yang menjadi renungan dalam alam pikiran yang menerawang jauh ini, kalau penjajah saja sangat memperhatikan rakyatnya akan ketersediaan Garam, masak ia sih Negara kita yang kini telah 72 tahun merdeka sudah kenyang makan asam garam, dan selama ini tidak pernah kekurangan garam, maka dianggap sudah tidak perlu lagi ada perhatian ketersediaan kebutuhan akan Garam ?
                Kini Gudang Uyah itu tinggal sejarah, nama “sekolah gudang uyah” itu tinggal kenangan.
Dan angan-angan itupun kembali menerawang jauh, kalau garam langka akan berpengaruh pula terhadap biaya perdukunan, karena bukankah garam juga menjadi bahan untuk sarana “Jopa-japu”? mbah dukun yang lebih tahu.  (denmbahbei)  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar