Sejarah desa-desa di Kecamatan Sumberpucung
Semua desa di Kecamatan Sumberpucung
mempunyai cerita sejarah yang dituangkan dalam sebuah buku. Sejarah desa
tersebut selalu dibacakan pada acara Bersih Desa. (acara pembacaan Sejarah Desa
itu disebut Udar Gelung artinya (melepas cerita sejarah yang tersimpan).
Udar Gelung ini merupakan salah satu rangkaian pelaksanaan Bersih
Desa yang wajib dibacakan dihadapan warga desa yang hadir dalam prosesi
Bersih Desa. Adapun sejarah singkat masing-masing desa yang ada di
Kecamatan Sumberpucung adalah sebagai berikut :
1. Sejarah
Terjadinya Desa Sumberpucung.
Sudah menjadi hukum alam bahwa semua makhluk hidup dimuka
bumi ini tidak dapat hidup tanpa adanya air. Oleh karena itu semua makhluk
hidup selalu berusaha mendapatkan persediaan air yang cukup. Demikian juga
halnya dengan manusia, sejak jaman dulu kala hingga sekarang selalu bertempat
tinggal di lokasi yang mudah untuk mendapatkan air bersih. Air bersih tersebut
secara alami mudah didapat dari Sumber-sumber air yang banyak terdapat
diberbagai tempat, mereka pada umumnya mendirikan tempat tinggal di sekitar
Sumber Air.
Asal-usul nama Desa Sumberpucung
Di suatu tempat ada sebuah sumber air yang letaknya mudah
dijangkau. Persis di atas lokasi sumber air tersebut tumbuh sebatang pohon
Pucung yang cukup besar. Sesuai dengn kebiasaan masyarakat Jawa bahwa untuk
memberi nama sesuatu tempat yang banyak dikunjungi orang selalu diambilkan dari
hal yang luar biasa. Demikian juga nama sumber air yang berada di bawah pohon
Pucung yang besar itu dinamai ” Sumber Pucung”.
Karena lokasinya yang nyaman, maka banyak warga yang
mendirikan tempat tinggal di sekitar Sumber ”Pucung” tersebut. Lama-lama di
sekitar sumber ”Pucung” tersebut menjadi suatu kawasan tempat pemukiman
penduduk, sehingga kawasan yang banyak ditinggali penduduk tersebut disebut
”Sumberpucung”.
Pada tahun 1897 Pemerintah Kolonial Belanda membentuk
Pemerintahan Kolonial dan sebagai konsekwensinya membentuk pula Daerah
Propinsi, Kabupaten dan Desa. Pada pembentukan desa dalam Daerah Kabupaten
Malang itu kawasan Sumber ”Pucung” ditetapkan menjadi ”Desa Sumberpucung”.
Wilayah Desa Sumberpucung cukup luas meliputi beberapa
kawasan, yakni : Krajan, Rekesan, Pakel , Suko, Sumber ayu, Bandung, Lumbu
Peteng dan Karangkates.
Dalam perkembangannya kawasan tersebut dibagi dalam 5
(lima) buah Dusun saja, yaitu : Krajan, Pakel, Suko, Bandung dan Karangkates.
Nama-nama Kepala Desa yang pernah memerintah Desa
Sumberpucung :
Mbah Irosari, Pak Daridjah, P. lmah, Singo Dimedjo,
Sumowiryo, Djoyo Prawiro Kabul, Pak Toempoek, Saridjan, Radjio, Rebin Mulyo
Ardjo, Supriadi Noto Prawiro, Hariyono, Tamat, Hartini, Ti'ah (Pj.), Muhadi sampai saat ini.
Karena luas dan banyaknya jumlah penduduk, maka untuk
lebih mempercepat perkembangan kemajuan desa, maka pada tahun 1992 Desa
Sumberpucung dipecah menjadi 2 (dua), yakni : Dusun Karangkates dan Bandung
digabung menjadi Desa Karangkates.
2. Sejarah
Terjadinya Desa Jatiguwi.
Pada jaman dahulu kala ada suatu kawasan yang banyak
ditumbuhi pohon jati, diantara pohonjati ang tumbuh tersebut ada sebuah pohon
Jati yang sangat besar tumbuh di suatu tempat yang letaknya sangat strategis di
mana tempat tersebut menjadi tempat melintasnya lalu lalang penduduk antar
kawasan. Pohon jati tersebut tergolong sangat langka dan istimewa. Langka
karena ukurannya yang besar dan istimewa karena batang pohon jati tersebut
berlobang cukup besar, dalam istilah Jawa biasa disebut Growong . pada
suatu ketika pemerintah hindia Belanda membangun penjara (Bui) dan
membutuhkan bahan kayu Jati. Kayu Jati di kawasan itu kemudian ditebangi untuk
memasok bangunan Bui, karena sangat terkenalnya bahwa kayu Jati untuk Bui itu,
lama-kelamaan kawasan itu biasa disebut ”Jatibui” dan si
kawasan itu sebutannya menjadi ”JATIGUWI” .
Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Jawa bahwa untuk memberi nama sesuatu tempat
selalu diambilkan dari hal yang luar biasa. Demikian juga nama yang terjadi
pada kawasan sekitar jati Growang tersebut dinamai ”JATIGUWI”.
Karena letaknya yang strategis berada pada daerah perlintasan
warga antar kawasan yang ada, maka lama kelamaan kawasan tersebut menjadi suatu
kawasan yang banyak ditinggali penduduk dan menjadi kawasan yang cukup ramai.
Wilayah Jatiguwi meliputi : Krajan, Mentaraman, Jatimulyo
(Kebon Klopo), Singodrono.
3.Sejarah
Terjadinya Desa Sambigede.
Dahulu kala Desa Sambigede adalah sebuah Dusun bagian
dari wilayah Desa Ngebruk, kemudian dipecah menjadi sebuah desa
tersendiri. Asal mula nama Desa Sambigede berasal dari adanya sebuah pohon
”Sambi” berukuran besar yang akarnya bergelayutan (mbrayut-mbrayut).
Pohon tersebut tumbuh disuatu tempat yang letaknya sangat strategis berada
didekat jalan perlintasan antar kawasan pemukiman. Pohon Sambi tersebut
tergolong sangat langka dan istimewa. Langka karena pada umumnya ukuran pohon
Sambi itu tidak ada yang besar (gede) tetapi yang ini sangat besar dan
istimewa karena akarnya yang bergelayutan sehingga kala itu orang menamai
kawasan sekitar pohon itu dengan sebutan ”Sambigede” atau disebut juga ”Briyut”
(diambil dari keadaan akar pohon Sambi yang mbrayut-mbrayut).
Wilayah Sambigede meliputi : Krajan koncar, Kampung
Contong, dan hamparan Sawah : sumber buntung, njiwo, sawah gong, sawah gendero,
sawah gowok.
4. Sejarah
Terjadinya Desa Senggreng
AWAL MULA NAMA SENGGRENG
Di dalam kawasan hutan belantara yang belum terjamah (alas gung
lewang-lewung) tentu belum ada namanya. Untuk menandai suatu kawasan di dalam
hutan agar mudah dikenali letaknya, adat kebiasan masyarakat jawa dalam menamakan
suatu kawasan diambil dari adanya hal-hal yang dianggap paling menarik
perhatian yang ada dilokasi tersebut, misalnya : nama Sumberpucung, untuk
sebutan suatu kawasan di sekitar sumber air yang didekatnya ada pohon Pucung
yang besar. Nama Semaksewu, untuk menyebut suatu kawasan yang di situ tumbuh
ribuan ewon (basa Jawa) pohon Kesemak, dan lain-lain.
Demikian juga yang dialami ki Malangjoyo, ki Kromodikoro dan Kromoleo, Mereka
bertiga tiba di suatu tempat (sekarang menjadi pasar Senggreng) dan membagi 3
(tiga) wilayah pembabatan. Malangjoyo membabat ke arah timur mendapati daerah
hutan Kesemek
(kini menjadi Kampung Semaksewu Ternyang),
Kromodikoro ke arah barat terus ke selatan (kini menjadi Dusun Ngrancah),
Sedangkan Kromoleo kearah barat terus ke utara mendapati hutan beringin dan
rawa-rawa. Kini bekas hutan Beringin tersebut menjadi kampung Ringinrejo, dan
rawa-rawa itu disebut Rawa Kromoleo (kini
menjadi danau buatan). Kromoleo akhirnya bermukim di dekat Sumber air (kini
disebut Sumber
Kromoleo). dalam
membuka hutan belantara (babat alas gung lewang-lewung) telah menamakan salah
satu kawasan dalam hutan dengan sebutan Waringinrejo, karena di kawasan itu
tumbuh sebuah pohon beringin yang besar dan di sekelilingnya banyak ditumbuhi
pohon beringin kecil-kecil yang masih muda (enom). Kawasan itu sekarang
kira-kira berada di wilayah belakang Kantor Desa, sehingga pada jaman dahulu
kala orang menyebut kawasan senggreng sekarang dengan sebutan Ringinrejo dan
ada juga yang menyebut Wringinanom. Suatu ketika di kawasan Ringinrejo
(Wringinanom) terjadi angin puyuh sehingga panyak pohon yang tumbang, ada yang
dahannya patah, daun-daun lepas beterbangan diterjang angin puyuh sehingga
pohon yang tidak roboh hanya tinggal batangnya saja. Ringinrejo yang tadinya
teduh dengan tiupan angin yang sepoi-sepoi karena tertahan rindangnya dedaunan,
menjadi panas dan tiuapan angin yang cukup kencang karena gundulnya dedaunan.
Setelah terjadinya angin puyuh yang menyebabkan pohon gundul dan menjadikan
kencangnya tiupan angin dikawasan itu, terjadilah hal yang aneh, di mana setiap
kali ada tiupan angin terdengarlah suara “gembrenggeng” di atas pohon Elo yang
tumbuh di sebelah timur pohon beringin yang paling besar. Masyarakat sekitar
kawasasn itu banyak yang ketakutan dan saling bertanya-tanya : “ Sing
Gembrenggeng “ iku suarane opo dulur ? “ Sing nggereng “ iku suarane opo co ?
Semua orang menyebut tentang “ Sing Gembrenggeng “, “ Sing nggereng “ Peristiwa
itu menjadi pembicaraan orang karena keanehannya, di mana setelah peristiwa
terjadinya angin puyuh kok setiap kali ada angin terdengar suara Gembrenggeng
ada yang menyebut nggereng seperti macan dan lain-lain. Melihat adanya keanehan
dan keresahan warganya, Petinggi Jogoreso ditemani Pamongnya menyelidiki sumber
suara. Setelah diteliti ternyata suara aneh itu berasal dari sebuah batu yang
bentuknya mirip genthong yang berada di dahan pohon Elo. Sejak saat itu orang
menyebut kawasan itu dengan sebutan “wit elo Singgereng” yang lama-kelaman
diambil praktis dan singkatnya saja kawasan itu disebut Singgreng, yang lama
kelamaan sebutannya berubah menjadi “Senggreng” hingga sekarang.
Di selatan kawasan Ringinrejo (Wringinanom) ada masyarakat yang mempunyai
kesukaan adu jago, suatu saat timbul keanehan di mana saat adu jago terjadi
sampyuh (Draw) tidak ada yang kalah dan tidak ada menang. Yang aneh ayam jago
sama tangguhnya tidak ada yang kalah maupun menang meskipun kepala dan badannya
sobek-sobek tercacah-cacah taji (dalam bahasa jawa) awak lan endase rejeh
kabeh ke-rancah jalu. Mendengar kabar keanehan ini banyak para botoh ayam
aduan yang berdatangan melihat ayam jago yang tangguh itu. Setelah melihat
kondisi ayam mereka bergunjing terheran-heran : “ awak lan endase ke-rancah
jalu kok ora mati yho “ . Sejak saat itu orang menyebut kawasan itu
dengan sebutan “Jago ke-rancah” yang lama-kelaman diambil praktis dan
singkatnya saja kawasan itu disebut Rancah, dan karena pengaruh logat
jawa maka kata Rancah menjadi “Ngrancah”. Saat ini menjadi dusun
Ngrancah dalam wilayah Desa Senggreng
5. Sejarah Terjadinya Desa Ternyang
Pada sekitar tahun 1865 datang seorang bernama ”ki
Regunung” dan putranya ”ki Truno Wongso”, serta dua orang keponakannya bernama
”Ki Kromo Dikoro” dan ”Ki Rogo Trimo”. . mereka berasal dari Tulungagung. Pada
awalnya mereka berhenti di sebuah tempat (saat ini dikenal sebagai Pasar
Ngebruk). Dari tempat berhentinya mereka membabat hutan ke arah selatan,
kemudian berhenti suatu tempat (sat ini dikenal sebagai Pasar Senggreng).
Kemudian mereka membagi diri , Kromo Dikoro dan Rogo Trimo membabat hutan
sebelah barat sedangkan Regunung dan Truno Wongso ke arah Timur.
Di sebelah timur mereka menemui sebuah kawasan yang
banyak ditumbuhi pohon Kesemek yang ribuan banyaknya sehingga kawasan itu msan
itu mereka berinama ”Semak Sewu” .
Di bagian paling ujung timur ada sebuah kawasan yang
banyak ditumbuhi pohon ”Juwet” kawasan itu dibabat oleh seorang bernama ki
”Wiryo Dikromo” yang tidak diketahui asa-usulnya, selanjutnya kawasan itu
diberi nama ”Turus Juwet” . yang kemudian menjadi ”Desa Turus Juwet”.
Di sebelah utara kedua kawasan itu (Semak Sewu dan Turus
Juwet) ditemukan adanya suatu kawasan yang indah dan asri yang banyak ditumbuhi
buah-buahan sehingga banyak dikunjungi orang , dan kawasan itu dikenal dengan
”Kebon Sari”. Banyak penduduk di kawasan Semak Sewu yang sering pertamasya ke
Kebon Sari, akan tetapi antara kawasan Semak Sewu dengan kebonsari masih banyak
dijumpai binatang buas yang berkeliaran, sehingga mereka takut datang ketempat
itu sendirian, oleh arena itu kalau ingin datang ketempat itu selalu minta
diantar, kalau tidak diantar mereka tidak berani datang ke Kebonsari. Keadaan
itu terus berangsung hingga lma ehingga orang lain menyebut penduduk kawasan
Semak Sewu sebagai berikut : ”Kalau tidak diantar tidak datang” yang dalam
bahasa jawa ” Lek gak diterne gak enyang” yang
kemudian diambil singkatnya ” TERNYANG” dan kemudian menjadi Desa
Ternyang.
Pada tahun 1921 Desa Turus Juwet dan Desa Ternyang
dilebur menjadi satu, selanjutnya diberi nama Desa Ternyang .
Demikian sejarah singkat terjadinya desa
Ternyang.
6. Sejarah Terjadinya Desa Ngebruk
Asal mula nama Desa Ngebruk.
Pada kira-kira antara tahun 1830-an setelah Diponegoro ditangkap Belanda
maka berakhir pula perlawanan tentara Diponegoro. Sejak saat itu tentara
Diponegoro bercerai-berai dikejar-kejar tentara kolonial Belanda. Bekas
tentara Diponegoro beserta keluarganya banyak yang mengungsi menyingkir ke arah
timur yang masih banyak hutan lebat. Dalam pengungsian tersebut akhirnya
sampailah mereka pada suatu tempat, mereka beristirahat dan menumpuh
barang-barang bawaannya ”bruk-bruk an” ditempat itu, sehingga ditempat itu
menjadi tempat menumpuk/ ngebruk nya barang-barang pengungsi lain yang datang
belakangan. (saat ini lokasi tersebut menjadi pasar Ngebruk). Tempat ngebruknya
barang-barang itu dijadikan tempat sementra mereka bermukim. Selanjutnya mereka
menyebar di berbagai tempat secara berkelompok membuka hutan belantara untuk
dijadikan ladang pertanian (ada yang ke arah selatan, utara, timur maupun
barat). Dalam perkembangannya tempat itu disebut ”NGEBRUK”. Mereka sekaligus
mendirikan tempat tinggal di sekitar ladang tersebut menjadi kampung tempat
tinggal. Penduduk setempat menyebut mereka sebagai orang Mataram, sedangkan
perkampungannya disebut Mentaraman. Hingga saat ini di Daerah Kabupaten Malang
masih banyak dijumpai adanya Kampung Mentaraman. Misalnya di Kecamatan
Sumberpucung ada di Desa Jatiguwi dan Desa Ngebruk.
Setelah menjadi sebuah desa, Wilayah Desa Ngebruk kala itu meliputi ,
beberapa dusun : Kebonsari, Mentaraman, Mbodo, sambigede. Dalam perkembangannya
Dusun Sambigede dipecah tersendiri menjadi sebuah desa, yakni : Desa Sambigede.
7.Sejarah Terjadinya Desa Karangkates
Pada mulanya Desa Karangkates adalah sebuah Dusun yang
masuk dalam wilayah administrasi Desa Sumberpucung. Desa Sumberpucung
wilayahnya cukup luas dan jumlah penduduknya juga cukup banyak. Dengan maksud
agar pelaksanaan pembangunan di Desa Sumberpucung berkembang lebih pesat, maka
pada tahun 1992 Desa Sumberpucung dipecah menjadi 2 (dua) bagian, yaitu : Desa
induk (Sumberpucung) dan Desa Karangkates. Untuk menuju menjadi Desa definitif
, terlebih dahulu harus melalui tahapan yaitu menjadi Desa Persiapan
Karangkates (tahun 1992-2002), dan selanjutnya Desa Karangkates ditetapkan
menjadi desa definitif pada tanggal 14 Pebruari 2002.
Nama-nama Kepala Desa yang pernah memerintah : Wasito,
Tukidi, Tukimun, Tri Wahyudi (P.Gayong), Sudjono Fakrim,S.Pd.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar