Rowo Kromoleo adalah
danau buatan yang terletak di perbatasan Desa Senggreng dan Desa
Sambigede, Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang, Propinsi Jawa
Timur. Danau buatan ini berfungsi untuk penampungan air hujan,
penampungan air buangan dari lahan persawahan sekitar danau, dan
menampung air sumber yang banyak terdapat disekitar danau.
Danau ini dapat mengairi lahan pertanian seluas + 52 Ha. Sedang luas danau kecil ini +
14 Ha. Danau kecil ini dibuat diperkirakan sekitar tahun 1924.
Keistimewaan danau ini ketinggian airnya stabil, bila musim kemarau
tidak pernah surut, dan hujan tidak pernah meluber.
Sampai saat ini selain untuk mengairi sawah, pemanfaatan air
danau belum dikelola secara baik. Di danau ini ada udang dan ikan liar
namun jumlahnya tidak melimpah. Hanya beberapa orang yang nampak mencari
udang dan menjala ikan, sedangkan yang lain tampak sedang bersantai
sambil memancing.
Sayang
sekali danau kecil ini belum dimanfaatkan secara optimal, misalkan
untuk tempat pariwisata, pada hal potensi untuk itu cukup besar.
Sesuai dengan Peta Krawangan Desa Senggreng yang dibuat
pada masa penjajahan Belanda (tahun 1940), bahwa danau tersebut masuk
dalam wilayah Desa Senggreng.
Nama Danau
Pada umumnya orang sekitar danau kecil ini menyebutnya dengan sebutan Rowo Kromoleo sedangkan kawasan sekitar Kromoleo disebutnya Dawuhan. Bertitik tolak dari sebutan nama kromoleo dan Dawuhan ini penulis mengawali menggali sejarah Rowo Kromoleo.
Pada
tahun 2005 penulis bersama Kepala Desa Senggreng (P.Sunaryo Darlan)
menemui seorang sesepuh saksi hidup bernama Srigunung, beliau dilahirkan
tahun 1912. Beliau pernah menjadi Pamong Desa Senggreng pada tahun
1950-an. Beliau menuturkan sebagai berikut :
Dahulu
kala sebelum dibendung, lokasi Rowo Kromoleo masih berupa rawa-rawa
yang dikelilingi tebing. Di sekeliling tebing tersebut banyak sumber air
kecil-kecil dan Sumber yang paling besar disebut Sumber Kromoleo.
(Sumber Kromoleo terletak di barat laut danau ini). Di sebelah timur
laut mengalir sungai kecil yang airnya berasal dari air buangan dari
sawah yang ada di atasnya.
Genangan
air pada rawa-rawa tersebut tidak dapat dimanfaatkan untuk pertanian.
Bila musim hujan tiba genangan air rawa-rawa semakin meninggi. Pada kira-kira mbah Srigunung
berumur 12 tahun (baru khitanan), Rowo Kromoleo dibendung oleh
pemerintah Belanda sehingga airnya naik untuk dialirkan ke lahan
pertanian yang ada di selatan. Sejak dibendungnya rawa-rawa itu, maka rawa Kromoleo berubah menjadi danau. Airnya
dimanfaatkan antara lain untuk pertanian, perikanan, tempat mandi
penduduk sekitar dan tempat bersantai melepas lelah bagi penduduk
sekitar yang seharian bekerja keras menggarap lahan pertaniannya.
Hingga sekarang orang menyebut danau itu Rowo Kromoleo
Asal nama Sumber Kromoleo
Ada
yang menyebutkan bahwa nama Kromoleo berasal dari kosa kata Kromo dan
Leo, Kromo artinya Kawin, dan Leo artinya Harimau. Konon katanya di
lokasi sumber itu menjadi tempat mandinya sepasang Harimau Putih, dan
sering kawin di situ, sehingga orang menamai sumber itu “ Sumber
Kromoleo” artinya Macan Rabi (Harimau Kawin). Tetapi menurut penulis hal ini kurang masuk akal, hanya otak atik penyesuaian arti kata, dalam bahasa jawa tembung otak atik matuk yang ternyata ora mathuk (tidak sesuai), karena arti Leo adalah Singa, dan Singa tidak identik dengan Harimau (macan), habitat singa hanya di Benua Afrika.
Dari
penelusuran yang dilakukan penulis akhirnya mendapat titik terang.
Penulis memulai penelusuran ini dari sejarah babat Desa Senggreng, di
situ mendapati nama pembuka hutan Senggreng seperti : Malangjoyo, kakak beradik Kromodikoro dan Kromoleo. Pada
saat Pangeran Diponegoro kalah perang, banyak sisa-sisa laskarnya yang
menyingkir dari daerah perang menuju ke hutan-hutan yang jauh dari
jangkauan tentara Belanda. Mereka menghindar dari kejaran tentara
Belanda. Diantaranya mereka banyak yang menyingkir ke wilayah
Sumberpucung yang kala itu masih berupa hutan belantara. Mereka membabat
hutan untuk dijadikan ladang dan tempat bermukim. Diantaranya adalah Malangjoyo dan dua orang bersaudara yaitu Kromodikoro dan Kromoleo.
Mereka bertiga tiba di suatu tempat (sekarang menjadi pasar Senggreng)
dan membagi 3 (tiga) wilayah pembabatan. Malangjoyo membabat ke arah
timur mendapati daerah hutan Kesemek (kini menjadi Kampung Semaksewu), Kromodikoro ke arah barat terus ke selatan (kini menjadi Dusun Ngrancah), Sedangkan Kromoleo kearah barat terus ke utara mendapati hutan beringin dan rawa-rawa. Kini bekas hutan Beringin tersebut menjadi kampung Ringinrejo, dan rawa-rawa itu disebut Rawa Kromoleo (kini menjadi danau buatan). Kromoleo akhirnya bermukim di dekat Sumber air (kini disebut Sumber Kromoleo).
Asal nama Dawuhan
Pemerintah
Hindia Belanda melalui assisten Wedono (sekarang Camat) memerintahkan
penduduk Senggreng untuk bergotong-royong membuat tanggul guna
membendung rawa itu sehingga menjadi tempat penampungan air yang
kegunaan selanjutnya untuk mengairi lahan pertanian di bagian selatan
Desa Senggreng.
Pada masa itu masyarakat desa menyebut Asisten Wedono (P. Camat) dengan sebutan “ndoro Sten” , sedang perintah dalam bahasa jawa berarti (Dawuh).
Adanya perintah (dawuh) dari ndoro sten
tersebut, maka masyarakat sekitar terutama warga Desa Senggreng
bergotong-royong mengadakan kerja bakti membuat tanggul yang
bahan-bahannya terdiri dari Ijuk ( dalam bahasa jawa disebut Duk), tanah uruk dan lain-lain, maka jadilah waduk tersebut seperti yang sekarang ini, dan daerah sekitar waduk tersebut hingga saat ini disebut NDAWUHAN asal kata dari Dawuh yang berarti perintah (perintah untuk membuat tanggul dari ndoro Sten). Tentang nama
dari waduk itu sendiri ada beberapa nama yang sering disebut
orang-orang, yaitu : Waduk Dawuhan, Rowo Kromoleo, Tanggul Duk Tumpuk,
dan lain-lain. Beberapa sebutan itulah orang-orang sekitar waduk
menyebut danau kecil ini. Tetapi sebutan itu kurang dikenal oleh
masyarakat luar desa.
Sebutan
waduk dengan nama “Rowo” sebetulnya tidak tepat, karena rawa identik
dengan tanah lembek yang jika terinjak akan menyeret penginjaknya masuk
dalam tanah. Pada hal waduk tersebut adalah merupakan genangan air
bening yang berasal dari sumber air yang jernih. Oleh sebab itu dengan
maksud agar masyarakat luar daerah lebih mudah mengenal letak daerah
ini, dan agar tidak kedengaran serem, penulis lebih condong dengan
sebutan Sang “Telaga Senggreng”.
Lalu kenapa pada waktu bergotong-royong yang paling banyak terlibat
adalah penduduk Desa Senggreng ? Ya karena yang punya gawe adalah orang
Senggreng, untuk keperluan mengairi lahan pertanian di Desa Senggreng
(seluas + 52 Ha.).
Demikian riwayat singkat “Telogo Senggreng”.
Denmbahbei, 2016
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusmohon wa
BalasHapus.
sya albi kalipare sdg mnyusun silsilah anak turun ki regunung..malangjoyo..kromodikoro..kromoleo..rogtrimo wa 083898702608