SEJARAH KAMPUNG LEDOK DAN KAMPONG
DUNGULAN
Sejarah ini dituturkan
oleh mendiang Kamituwo Ketanen (mbah Mustari), yang pernah hidup pada tahun
1912-1997. Adalah seorang Pamong Desa Kamituwo Dusun Ketanen/Tanen Desa
Penarukan, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, Jatim, menjabat Kamituwo sejak
tahun 1936-1989. Pada tahun 1984, bercerita kepada penulis mengenai sejarah Penarukan.
Menurut keterangannya cerita ini didapat dari kakek buyutnya.
Disebutkan bahwa Dusun
Tanen dahulu kala disebut orang dengan nama Kampung Ledok, hal ini disebabkan
karena kondisi topografi alamnya dibanding dengan kampong sekitarnya cukup
rendah ledok. Diceritakan bahwa konon
dahulu kala bila ada pagelaran kesenian Wayang Kulit atau keramaian lainnya, suaranya
tidak terdengar sampai di luar kampong ledok, hal ini disebabkan karena kampung
ini berada di dalam ledokan, oleh karena itu kampong ledok disebut juga kampong
pendem, karena dari kampong ini tidak pernah didengar suara keramaian (seperti kampong
terbenam), maka kampong ini disebut Kampung Pendem. Sedangkan nama Ketanen/Tanen
itu karena penduduknya adalah orang-orang Tani.
Adapun Desa Penarukan dulunya
bernama “Dungulan”, nama ini berasal dari adanya kejadian luar biasa yaitu
adanya Kedung yang terjadi hanya dalam kurun waktu sebulan lamanya, namun tidak
diceritakan bagaimana proses terjadinya kedung itu dan tidak dijelaskan di mana
letaknya. Demikianlah yang diceritakan oleh mbah Mustari tersebut. Cerita ini
diceriterakan dari mulut ke mulut oleh orang Tanen maupun Penarukan secara gethok
tular lintas generasi, namun cerita itu kini menjadi sangat langka karena sudah
tidak lagi ditemukan ada orang Tanen maupun Penarukan yang mendengar cerita
ini. Kiranya adalah suatu berkah besar karena penulis menemukan cerita ini dan masih
teringat cerita ini, berikutnya dengan segala keterbatasan yang ada penulis berupaya
mengabadikan cerita ini dan berupaya menggali sejarah cerita ini gerangan apa
sebenarnya yang terjadi.
MENELUSURI ASAL NAMA DESA PENARUKAN
Menurut cerita sejarah
Desa Penarukan, nama Penarukan itu lahir didasari dari awal adanya pembangunan
sungai molek diperkirakan antara tahun 1888-1900-an. Pembangunan sungai molek
itu merupakan proyek besar yang sudah tentu banyak menyedot tenaga kerja. Di
lokasi pembangunan sungai molek itu banyak berdatangan tenaga kerja dari
berbagai daerah sehingga tempat yang dulunya bernama Dungulan itu dinamakan
Palurugan (tempat orang-orang boro bekerja). Para pendatang itu kebanyakan dari
Jawa tengah. Dari penelusuran penulis ternyata di Jawa Tengah didapati adanya sebuah
desa bernama Penarukan, yaitu terletak di Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal. Adanya
fakta itu sangat kuat dugaan bahwa orang-orang dari Desa Penarukan inilah yang
banyak berdatangan nglurug berkerja
ditempat yang dulunya disebut Dungulan ini. Setelah pembangunan sungai molek
selesai, Dungulan yang dulunya kering dan tandus, berubah menjadi lahan
pertanian yang sangat subur, ini terjadi karena adanya system irigasi teknis sangat
memadai yang hingga kini masih dirasakan. Sebagai dampaknya semakin banyak
pendatang dari luar daerah yang mengadu untung ditempat ini, termasuk banyak ex
pekerja pembangunan sungai Molek yang menetap di sini, kawin dengan warga
setempat dan beranak pinak. Karena banyaknya orang-orang dari Desa Penarukan
Jawa Tengah ini yang menetap, maka tempat itu disebut Kampung Penarukan, dan pada
saat diadakan pembentukan desa (sekitar tahun 1906-1911), maka tempat yang
tadinya disebut orang dengan nama Dungulan itu menjadi Desa Penarukan.
Di dalam wilayah Desa
Penarukan ini terdapat sebuah Kampung dan Dusun, yaitu Kampung Mentaraman dan
Dusun Ketanen (Tanen). Dinamakan Kampung Mentaraman karena di dalam kampong tersebut
banyak dihuni orang-orang yang berasal dari Mataram. Ada terdapat dua dugaan
kehadiran orang-orang Mataram di Kampung ini, yaitu : Pertama, kehadiran orang Mataram di sini adalah pada masa pecahnya
perang antara kerajaan brang wetan di bawah pimpinan Panji Pulangjiwo yang ingin
melepaskan diri dari kekuasaan Mataram, melawan tentara Mataram di bawah
Tumenggung Surontani yang akhirnya gugur tahun 1614 M dan dilanjutkan oleh
Tumenggung Alap-alap. Panji Pulangjiwo akhirnya gugur karena taktik jebagan
Tumenggung Alap-alap, dengan demikian Brang Wetan jatuh ketangan Mataram. Selanjutnya
tentara Mataram mendirikan markas pertahanan di Kampung ini, mereka kawin
dengan warga local dan beranak pinak, maka jadilah tempat ini disebut orang “Kampung
Mentaraman”. Kedua pada saat
pembangunan Kali Molek, banyak orang-orang dari Jawa Tengah dalam hal ini orang
Mataram yang nglurug bekerja di tempat
ini, mereka berkelompok dalam satu kampong,
kawin dengan warga local, beranak-pinak dan menetap di kampong ini, maka
jadilah tempat ini disebut orang “Mentaraman”.
TERKUAKNYA NAMA DUSUN KETANEN/TANEN.
Menurut cerita kuno, Dusun
Ketanen atau Tanen itu dulunya bernama Ledok atau Pendem, dari penulusuran
penulis berubahnya nama Kampung Ledok atau Pendem menjadi Ketanen atau Tanen
itu terjadi karena adanya urbanisasi besar-besar dari penduduk Tulungagung ke
wilayah Malang Selatan, hal ini terjadi sebagai akibat bencana banjir besar
yang melanda wilayah Kabupaten Tulungagung. Dan Kampong Pendem menjadi tempat
berpindahnya orang-orang dari Desa Ketanon dan Desa Tanen Kabupaten
Tulungagung. Mereka menetap dan kawin dengan warga local, beranak-pinak. Karena
banyaknya orang-orang dari Ketanon dan Tanen yang tinggal di situ maka kampong yang
dulunya bernama Ledok atau Pendem lambat laun disebut orang menjadi Kampung
Ketanon dan banyak orang yang menyebut Kampung “Tanen”. Tetapi sejak berdirinya
Desa Penarukan maka kampong ini menjadi Dusun “Ketanen”.
terkuaknya misteri
lokasi kagenengan
Bermula dari rasa keingintahuan
penulis mengenai misteri cerita sejarah Desa Penarukan yang sebenarnya. Nama
Desa Penarukan itu lahir setelah dibangunnya Sungai Molek pada sekitar tahun
1900-an pada hal jauh sebelum itu ada cerita nama Dungulan, kampong Ledok dan
Kampung Pendem. Selain itu pada sekitar tahun 1960-an penulis pernah melihat
dengan mata kepala sendiri adanya penemuan Candi terpendam yang lokasinya
berada di dekat Sungai Brantas, arcanya sempat diluarkan dari lobang atap
candi, batu-batunya dikembalikan pada posisi semula lalu diuruk kembali, dan arca
itu dibeli kolektor benda purbakala bernama Ji Seng, rumahnya di Kepanjen. Juga
ada sebuah goa tersembunyi yang disebut “Urung-urung” sebuah tempat pertapaan
yang tersembunyi dalam aliran sumber air di pinggiran Kali Brantas tidak jauh
dari lokasi Candi. Di samping itu tidak jauh dari lokasi Candi terpendam itu juga
pernah ditemukan : uang gobog banyak se Cikar, Lempengan tembaga, perhiasan
dari emas se ombyok banyaknya,dan artefak-artefak kuno lainnya. Sayangnya benda-benda
kuno itu sudah tidak diketahui rimbanya, kini yang tinggal hanyalah kenangan
pernah memegang perhiasan kuno berupa cincin kawin, yang waktu penulis coba memasukan
ke jari manis ternyata kebesaran karena ukurannya sebesar Jempol kaki.
Untuk menguak cerita
sejarah itu penulis mulai menelusuri mbah Google mencari informasi sejarah
dengan banyak membaca kitab-kitab sejarah seperti Pararaton, Negara Kertagama,
cerita-cerita sejarah dan artikel-artikel sejarah yang berhubungan dengan
sejarah Malang.
Dari cerita Kitab
Pararaton didapat cerita adanya banjir besar dan Gunung meletus. Dari Kitab
Negarakretagama didapat cerita pada pupuh 37-39. Dari cerita sejarah Kerajaan
Jenggala didapat cerita adanya banjir besar yang sampai mengalihkan arah alur
sungai Porong. Dari artikel-artikel bernuansa sejarah Malang para sejarawan
sibuk mengidentifikasi lokasi Kagenengan di daerah Wagir dan Pakisaji tetapi
hasilnya meragukan alias samar di mana menurut sejarahnya Kagenengan menjadi
tempat persemayaman Ken Angrok dicandikan. Kemudian pada artikel lainnya menyebut bahwa
Kagenengan itu sama artinya dengan tempat yang tergenang. Dari penelusuran itu
penulis jadi ingat keberadaan candi terpendam itu yang setelah penulis amati
dengan seksama ternyata areal candi itu
berada pada lokasi bekas genangan banjir sungai Brantas yang hingga kini masih bisa
dilihat bekasnya baik melalui udara maupun lewat darat. Bekas genangan
banjir itu kini menjadi hamparan sawah yang oleh warga disebut Sawah Beran. Bahkan
dari bekas aliran banjir ini akhirnya mengungkap nama Dungulan, Kampung Ledok
dan Kampung Pendem, juga nama desa tetangga Kedung Pedaringan. Kejelasan ini
penulis dapat dari melihat lokasi melalui Google Map di situ dengan jelas bekas
aliran banjir itu mengalir ke kampong Ledok yang sangat dimungkinkan membentuk
suatu Kedung yang terjadinya hanya se bulan (Dungulan), selanjutnya aliran
banjir itu terus mengalir mencari tempat yang rendah dan masuk ke sungai petung
dan jadilah suatu kedung yang dinamakan orang Kedungpedaringan. Dan kampong
Ledok yang tergenang banjir itu satu bulan kemudian lumpurnya mengering dan
jadilah Kampung Pendem.
Bila benar bahwa
Kagenengan itu adalah tempat ini dan candi itu adalah tempat perabuan Ken
Angrok, benarkah Desa Penarukan yang kini jadi kelurahan itu dulunya adalah Kutaraja
yang kini letak persisnya sedang dicari-cari oleh para sejarawan-wati ? Untuk mencari
jawabnya, gali dulu candinya, InsyaAllah akan didapat cerita sejarah baru yang
signifikan, bahkan tidak menutup kemungkinan dapat merubah cerita sejarah yang
sudah ada.
Cerita ini bukan mengada-ada tetapi faktanya memang nyata dan ada. Fakta lainnya adalah kini Kantor Bupati Malang berada di Penarukan, adakah ini merupakan naluri sejarah yang menembus dimensi sejarah, hanya Tuhan yang maha tahu.
Siapa yang menyangka bahwa ternyata didalam hamparan tanah tegalan yang rata ini terpendam sebuah Candi ?
Cerita ini bukan mengada-ada tetapi faktanya memang nyata dan ada. Fakta lainnya adalah kini Kantor Bupati Malang berada di Penarukan, adakah ini merupakan naluri sejarah yang menembus dimensi sejarah, hanya Tuhan yang maha tahu.
Untuk mengenang jasa beliau, cerita ini penulis
persembahkan kepada bapak pembangunan Indonesia, pengemban Supersemar mendiang
Bapak Suharto.
Bila anda ingin lebih banyak mendapat cerita mengenai Desa di mana letak candi itu berada, silahkan klik di : http://denmbahbei.blogspot.co.id/2017/03/bermaksud-menggali-sejarah-penarukan.html
Bila anda ingin lebih banyak mendapat cerita mengenai Desa di mana letak candi itu berada, silahkan klik di : http://denmbahbei.blogspot.co.id/2017/03/bermaksud-menggali-sejarah-penarukan.html
Denmbahbei, 11 Maret 2017
Itu atok dedes gga real tokoh mitos rekaan komik pararaton
BalasHapusDi negarakretagama dan prasasti2 yg ilmiah gga ada nama2 Arok. Dedes
Menurut CC Berg (1953), memang begitu. Tapi sudah disanggah oleh HJ de Graaf (1956). Juga JL Moend
BalasHapusNagarakrtagama, pupuh 36-37, Hayam Wuruk pernah mengunjungi makam ini. Pupuh 40 bait 5, menyebutkan makam Kagemengan adalah Makam Rajasa.
BalasHapus