SEKOLAH
GUDANG UYAH
Pada Tahun 1950-an di jalan Penarukan-Kepanjen terdapat sebuah sekolah
Rakyat (SR) yang kini disebut Sekolah Dasar. Pada tempo doeloe masyarakat awam menyebutnya
Sekolah Gudang Uyah (Garam). Disebut
gudang Uyah, karena sekolah tersebut menempati bekas Gudang Garam jaman Kolonial
Belanda yang sudah tidak terpakai. Pada tahun 1970-an masyarakat menyebut SD
itu dengan sebutan “SD Kawedanan”, disebut demikian karena lokasinya berada di
dekat Kantor Kawedanan Kepanjen (letaknya persis berada di depan Kantor
Kawedanan). Meskipun pada tahun 1980-an Kawedanan telah dihapus dan menjadi
Pembantu Bupati, namun rakyat lebih familier tetap menyebut Kawedanan. Dan pada
tahun 1990-an SD itupun dibangun berlantai
dua (bertingkat) berubah nama menjadi SDN 02 Kepanjen, namun demikian
bagi orang-orang dewasa lebih akrab menyebutnya SD Kawedanan, meskipun kini
Kantor Kawedanan itu telah berubah menjadi
Kantor Dinas Pendidikan dan Pariwisata Kabupaten Malang.
Berangan-angan menerawang jauh ke masa penjajahan Belanda, meskipun kaum
penjajah yang terkenal dengan penindasannya, ternyata Belanda masih perhatian
terhadap kebutuhan dasar rakyat yang menjadi jajahannya, apa itu ? yaitu “Garam“(uyah), bukti terhadap adanya perhatian Pemerintah Hindia Belanda dalam
memenuhi kebutuhan garam adalah adanya
Gudang Garam “Gudang Uyah” yang selalu ada di setiap
kota. Ketersediaan garam di tengah-tengah masyarakat selalu terkontrol dari
ketersediaan stok garam yang ada di gudang, sehingga tidak pernah terjadi
kelangkaan garam.
Kini pada 17 Agustus 2017 Kemerdekaan Bangsa Indonesia telah berusia 72
tahun, umpama orang itu sudah kakek/nenek yang sudah kenyang makan ASAM GARAM nya kehidupan, tetapi apa
yang kini kita dapati, ternyata penguasa negeri kali ini sedang lengahkah atau
kecolongankah dalam mengelola manajemen pergaraman, terbukti bahwa kini di
pasar-pasar mulai terjadi kelangkaan GARAM yang sebelumnya hal ini tak pernah
terjadi. Harga jual garam dipasaran naik sampai
500 %. Pemerintah boleh-boleh saja berkilah bahwa hal ini terjadi karena
adaya musim kemarau basah yang berkepanjangan, namun bukahkah dengan kemajuan
tehnologi kondisi kemarau basah itu jauh hari sudah terdeteksi, dan
peluang impor Garam pun terbuka lebar,
sehingga dengan demikian mestinya sudah dapat diprediksi berkurangnya produksi garam
untuk kebutuhan tahun ini, sehingga jauh sebelumnya kebutuhan garam dan stok
yang harus disediakan dapat diantisipasi tidak sampai terjadi adanya kelangkaan
seperti sekarang ini.
Bagi rakyat kecil yang tidak paham tentang urusan pemerintahan atau otak
atik politik, Kelangkaan Garam menjadi bahan ocehan tentang penilaian kinerja
pemerintah dan dengan lugunya menjadi bahan pergunjingan bernada minir. Bagaimana
tidak, logika sederhananya adalah begini, bahan dasar pembuatan garam adalah
air laut, sedangkan Indonesia itu Negara kelautan dan tentu berlimpah-ruah akan
bahan dasar pembuatan garam, dan timbullah pertanyaan, kenapa kok bisa begini
ya ? dan merekapun dengan lugunya menjawab pertanyaannya itu dengan suatu
pertanyaan pula, apakah hal ini berarti perintah tidak perhatian ora gatekan,
mengurus hal kecil seperti ini?
Hal yang menjadi renungan dalam alam pikiran yang menerawang jauh ini,
kalau penjajah saja sangat memperhatikan rakyatnya akan ketersediaan Garam, masak
ia sih Negara kita yang kini telah 72 tahun merdeka sudah kenyang makan asam
garam, dan selama ini tidak pernah kekurangan garam, maka dianggap sudah tidak
perlu lagi ada perhatian ketersediaan kebutuhan akan Garam ?
Kini
Gudang Uyah itu tinggal sejarah, nama “sekolah gudang uyah” itu tinggal kenangan.
Dan angan-angan
itupun kembali menerawang jauh, kalau garam langka akan berpengaruh pula terhadap
biaya perdukunan, karena bukankah garam
juga menjadi bahan untuk sarana “Jopa-japu”? mbah dukun yang lebih tahu. (denmbahbei)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar